Image Source: today.tamu.edu

Lebih dari tiga perempat emisi gas rumah kaca di Uni Eropa berasal dari konsumsi energi, sehingga transisi dari bahan bakar fosil menjadi suatu keharusan. Solusi yang cepat, aman, dan terbukti seperti energi angin dan surya kini menjadi sumber energi termurah. Bahkan, dalam satu tahun terakhir, peningkatan energi terbarukan berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor listrik Uni Eropa sebesar 19%, serta menghemat sekitar €50 miliar bagi konsumen.

Namun, di tengah kesuksesan energi terbarukan, industri nuklir berupaya mempertahankan relevansinya dengan melobi pengaruh politik serta melemahkan kebijakan iklim Uni Eropa. Perdebatan ini menciptakan ketegangan antara pendukung energi terbarukan dan pendukung nuklir, menimbulkan pertanyaan: Apakah energi nuklir benar-benar solusi atau justru menjadi penghambat transisi energi?

Mitos #1: Energi Nuklir Tidak Menghambat Energi Terbarukan

Fakta #1: Lobi Nuklir Berusaha Mengurangi Ambisi Energi Terbarukan

Pada revisi Renewable Energy Directive (RED III) tahun 2023, Prancis mengusulkan penambahan kategori energi “rendah karbon” untuk mendukung target energi terbarukan Uni Eropa sebesar 45% pada 2030. Walaupun usulan ini tidak diterima, mereka berhasil melobi agar hidrogen yang diproduksi dari tenaga nuklir tetap mendapatkan perlakuan istimewa, berisiko menghambat perkembangan teknologi berbasis energi terbarukan.

Selain itu, dalam pembahasan Net Zero Industry Act (NZIA), Uni Eropa awalnya tidak memasukkan nuklir dalam daftar teknologi strategis, namun akibat tekanan politik, akhirnya “teknologi fisi nuklir” dimasukkan sebagai teknologi strategis, mengaburkan fokus pada energi terbarukan seperti angin dan matahari.

Lebih lanjut, dalam reformasi Desain Pasar Listrik Uni Eropa, kelompok pro-nuklir bekerja sama dengan industri bahan bakar fosil untuk mendorong subsidi bagi reaktor nuklir baru maupun lama, sekaligus memperpanjang subsidi bagi pembangkit listrik tenaga batu bara.

Mitos #2: Nuklir Adalah Solusi Cepat untuk Mengurangi Emisi

Fakta #2: Konstruksi Nuklir Baru Terlalu Lambat

Energi nuklir membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dibangun. Contohnya:

  • Reaktor Hinkley Point C (Inggris): diumumkan pada 2007, seharusnya beroperasi pada 2017, tetapi kini diprediksi baru akan beroperasi pada 2031.
  • Flamanville (Prancis): memakan waktu lebih dari 16 tahun dan masih mengalami penundaan.
  • Olkiluoto-3 (Finlandia): butuh 18 tahun untuk bisa beroperasi.

Sementara itu, tenaga surya dan angin dapat dipasang dalam hitungan bulan hingga beberapa tahun, memberikan solusi yang jauh lebih cepat dalam mengurangi emisi.

Mitos #3: Nuklir adalah Solusi Ekonomis

Fakta #3: Nuklir Adalah Sumber Energi Termahal

Berdasarkan laporan World Nuclear Industry Status Report, biaya produksi listrik tenaga nuklir empat kali lebih mahal dibandingkan angin darat. Beberapa contoh proyek nuklir yang mengalami lonjakan biaya:

  • Hinkley Point C (Inggris): biaya meningkat dari €26,9 miliar menjadi €53,8 miliar.
  • Flamanville (Prancis): awalnya diperkirakan €3,3 miliar, kini membengkak menjadi €16,87 miliar.
  • Olkiluoto-3 (Finlandia): biaya meningkat tiga kali lipat dari perkiraan awal menjadi €11 miliar.

Sementara itu, investasi pada efisiensi energi dan energi terbarukan lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Greenpeace Prancis menunjukkan bahwa investasi €52 miliar pada angin dan surya dapat mengurangi empat kali lebih banyak emisi CO2 dibandingkan membangun enam reaktor nuklir.

Mitos #4: Nuklir dan Energi Terbarukan Dapat Bekerja Bersama

Fakta #4: Nuklir Menghambat Integrasi Energi Terbarukan

Reaktor nuklir tidak fleksibel dan sering kali mendominasi kapasitas jaringan listrik, menyebabkan stagnasi dalam pengembangan energi terbarukan. Beberapa contoh nyata:

  • Rumania: Kapasitas jaringan listrik telah “dikuasai” oleh proyek nuklir Cernavodă 3 dan 4 selama bertahun-tahun, menghambat integrasi proyek energi angin di Dobrogea, wilayah dengan potensi angin terbesar di negara tersebut.
  • Belanda: Pembangkit nuklir Borssele bersaing dengan proyek listrik tenaga angin lepas pantai untuk mendapatkan ruang dalam jaringan listrik.
  • Jepang: Pasca-Fukushima, pemerintah menghambat koneksi energi terbarukan ke jaringan listrik demi mempertahankan opsi reaktor nuklir, menyebabkan ketergantungan terus-menerus pada bahan bakar fosil.

Mitos #5: Nuklir Mendukung Keamanan Energi Uni Eropa

Fakta #5: Nuklir Masih Bergantung pada Rusia

Lebih dari 40% pasokan uranium Uni Eropa berasal dari Rusia. Meskipun Eropa telah melarang impor batu bara dan gas dari Rusia, uranium masih tetap diimpor. Alternatif lainnya, Kazakhstan, juga memiliki hubungan erat dengan perusahaan nuklir negara Rusia, Rosatom.

 

Mitos #6: Risiko Nuklir Sudah Dapat Dikendalikan

Fakta #6: Risiko Kecelakaan dan Limbah Nuklir Masih Mengancam

Kecelakaan nuklir seperti Chernobyl dan Fukushima membuktikan bahwa risiko nuklir tetap tinggi. Selain itu, perubahan iklim meningkatkan ancaman terhadap pembangkit nuklir, termasuk:

  • Gelombang panas yang dapat mempengaruhi pendinginan reaktor.
  • Banjir dan badai ekstrem yang tidak diperhitungkan dalam standar keselamatan lama.
  • Ancaman serangan siber dan teroris, seperti yang terlihat dalam konflik Rusia-Ukraina di Pembangkit Nuklir Zaporizhzhia.

Limbah radioaktif juga menjadi masalah besar, dengan tidak adanya solusi jangka panjang yang aman untuk penyimpanannya.

Berbagai studi, termasuk skenario Paris Agreement Compatible (PAC), menunjukkan bahwa sistem energi 100% terbarukan dapat dicapai pada 2040 tanpa memerlukan tenaga nuklir. Kombinasi energi angin, surya, penyimpanan energi, serta efisiensi energi menawarkan solusi yang lebih cepat, murah, dan berkelanjutan dibandingkan nuklir.

Uni Eropa harus mengalihkan fokus dari perdebatan nuklir yang tidak produktif dan mengarahkan sumber daya ke teknologi yang sudah terbukti mampu mengurangi emisi secara cepat dan efisien. Masa depan energi terletak pada sumber daya yang terbarukan, bukan nuklir.

Sumber: https://caneurope.org/myth-buster-nuclear-energy/