Image Source: https://geotimes.id/opini/metaverse-sebagai-disruptive-technology-bisnis-dan-pendidikan/

Metaverse pernah menjadi topik yang sangat panas dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan nama Facebook menjadi Meta, antusiasme dari komunitas kripto, serta peningkatan teknologi realitas virtual (VR) dan realitas tertambah (XR) mendorong minat terhadap konsep ini. Banyak perusahaan berinvestasi dalam penerapan metaverse, terutama untuk pelatihan industri yang lebih imersif dan pengembangan digital twins.

Namun, seiring waktu, hype tentang metaverse mulai meredup. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, termasuk kemajuan Meta yang lebih lambat dari ekspektasi, jatuhnya pasar NFT, dan munculnya istilah baru seperti spatial computing yang dipopulerkan oleh Apple untuk menggantikan metaverse, VR, dan XR.

Metaverse: Mati atau Berevolusi?

Meskipun popularitas istilah “metaverse” menurun, para ahli industri percaya bahwa konsep ini masih terus berkembang, hanya saja dengan pendekatan dan branding yang berbeda. Louis Rosenberg, CEO dan Chief Scientist Unanimous AI, menegaskan bahwa metaverse tidak mati, melainkan sedang mengalami transformasi menjadi fondasi yang lebih stabil dan tumbuh secara bertahap.

Menurut Rosenberg, metaverse masa depan akan menjadi dunia nyata yang diperkaya dengan konten realitas campuran yang begitu autentik dan terintegrasi sehingga terasa seperti bagian alami dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, konsep kehidupan digital dan fisik yang terpisah akan semakin kabur, menciptakan satu realitas yang menyatukan kedua aspek tersebut.

Apa yang Terjadi dengan Metaverse?

Sebagian besar teknologi baru mengalami siklus hype yang serupa: awalnya mendapat ekspektasi yang berlebihan, lalu mengalami periode kekecewaan sebelum akhirnya berkembang ke arah yang lebih stabil dan aplikatif. Metaverse mengalami perjalanan yang serupa.

Beberapa faktor yang menyebabkan redupnya hype metaverse antara lain:

  1. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi – Janji besar yang dibuat oleh para pelaku industri, terutama Meta, tidak dapat segera terealisasi karena keterbatasan teknologi dan kesiapan pasar.
  2. Kurangnya Adopsi Konsumen – Banyak orang belum merasa tertarik untuk mengadopsi metaverse secara luas, terutama karena perangkat VR masih relatif mahal dan kurang nyaman untuk penggunaan jangka panjang.
  3. Kemunduran di Pasar Kripto dan NFT – Kejatuhan nilai NFT dan aset digital lainnya turut mempengaruhi ekosistem metaverse yang sempat bergantung pada ekonomi digital.
  4. Perubahan Fokus Teknologi – Kemunculan teknologi lain seperti kecerdasan buatan generatif (GenAI) mengalihkan perhatian dan investasi dari pengembangan metaverse.
  5. Reaksi Pasca-Pandemi – Pandemi COVID-19 mendorong peningkatan interaksi virtual, tetapi setelah pandemi mereda, banyak orang kembali mencari pengalaman sosial secara langsung, mengurangi daya tarik metaverse.

Metaverse: Berevolusi dengan Nama Baru?

Sebagian ahli berpendapat bahwa metaverse masih hidup, tetapi sekarang lebih sering disebut sebagai “spatial computing” atau “mixed reality.” Apple, Meta, Google, dan perusahaan teknologi besar lainnya terus mengembangkan teknologi VR, AR, dan XR yang menjadi tulang punggung metaverse.

Contoh aplikasi yang mulai berkembang antara lain:

  • Kolaborasi dan Produktivitas – Platform seperti Meta Horizons Workrooms dan Spatial digunakan sebagai alternatif yang lebih imersif dibandingkan Zoom atau Microsoft Teams.
  • Pelatihan Industri – Simulasi berbasis VR digunakan untuk pelatihan medis, teknik, dan manufaktur.
  • Retail dan Arsitektur – Perusahaan ritel mulai menggunakan AR untuk pengalaman belanja yang lebih interaktif, sementara arsitek dan desainer memanfaatkan VR untuk perencanaan proyek.
  • Digital Twins – Digunakan dalam manufaktur dan perawatan infrastruktur untuk pemantauan dan analisis real-time.

Masa Depan Metaverse

Meskipun istilah “metaverse” mungkin tidak lagi sepopuler sebelumnya, konsep yang mendasarinya terus berkembang. Penggabungan antara dunia digital dan fisik akan semakin kuat, didukung oleh kemajuan dalam AI, AR, VR, dan komputasi spasial. Dengan adanya ekosistem teknologi yang semakin matang, metaverse akan lebih berfokus pada aplikasi praktis dibandingkan sekadar hype.

Jadi, apakah metaverse sudah mati? Jawabannya: tidak. Metaverse masih ada, hanya saja kini berada dalam fase evolusi yang lebih realistis dan berorientasi pada manfaat nyata bagi berbagai industri. Masa depan metaverse bukanlah dunia virtual sepenuhnya, melainkan dunia nyata yang diperkuat dengan elemen digital yang semakin terintegrasi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sumber: https://www.techtarget.com/searchcio/feature/Is-the-metaverse-dead-Heres-what-happened-and-whats-next